Sunday, November 28, 2010

Bolehkah Kita Sebut Orang Yahudi dan Nasrani Kafir?

Keraguan menyebut orang Yahudi dan Nashrani kafir mungkin muncul dari sebagian orang karena terpengaruh dengan pemikiran kaum sekuler. Mereka mungkin berujar, “Kok kejam sekali mengatakan orang Yahudi atau orang Nashrani kafir?”
Apakah keraguan seperti ini dibenarkan dan tidak boleh kita menyebut mereka kafir? Tentu saja permasalahan seperti ini harus kita kembalikan pada Al Qur’an da As Sunnah. Marilah kita lihat perkataan ulama besar Saudi yang berada di Al Lajnah Ad Da’imah mengenai hal ini.
Pertanyaan: Bolehkah seorang muslim mengatakan orang Yahudi atau orang Nashrani kafir?
Jawaban: Iya, boleh bagi seorang muslim menyebut orang Yahudi dan Nashrani kafir karena memang Allah menyebut mereka seperti ini dalam Al Qur’an. Permasalahan ini sudah sangat diketahui bagi mereka yang betul-betul merenungkan Al Qur’an. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala dalam Surat Al Bayyinah ayat 6:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”
Yang dimaksud dengan ahlu kitab dalam ayat ini adalah Yahudi dan Nashrani.
Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
[Sumber: Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 4252, 2/143]
Kesimpulannya: Boleh kita mengatakan Yahudi dan Nashrani kafir. Perkataan seperti ini sering kita temui dalam Al Qur’an. Ini bukanlah kejam karena firman Allah tidaklah mungkin kejam. Semoga tidak ada keraguan yang mengganjal untuk menyebut mereka demikian.
Semoga Allah selalum menambahkan ilmu yang bermanfaat dan menunjuki kita ke jalan yang lurus.
***
Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: http://rumaysho.com

Saturday, November 27, 2010

Fenomena Kerancuan Dalam Metodologi Memahami Agama

[1]. Mengambil ilmu tidak dari ahlinya. Maksudnya ialah sebagian orang mengambil ilmu dari setiap orang yang mengajak mereka belajar. Dan dari setiap orang yang mengibarkan bendera dakwah serta mengaku : "Aku adalah seorang juru dakwah". Akhirnya mereka jadikan juru dakwah itu sebagai imam panutan dalam masalah agama. Mereka-pun menimba ilmu darinya, padahal juru dakwah itu tidak paham Islam sama sekali. Oleh sebab itu, kita temui sekarang ini slogan-slogan mentereng yang dikibarkan panji-panjinya oleh sekumpulan umat manusia, terutama para pemuda. Kita dapati pemimpin dan ketuanya jahil tentang dasar-dasar agama. Lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan.

Sebabnya ialah juru-juru dakwah tersebut melihat dirinya banyak diikuti orang yang mengambil ilmu agama darinya tanpa hati-hati dan mencari kejelasan serta tanpa metodologi yang benar. Mereka tidak melihat apakah pemimpinnya itu layak diambil ilmunya ataukah tidak?

Pada umumnya mereka lebih terbawa perasaan daripada dituntun oleh ilmu. Ini jelas sebuah kesalahan fatal, artinya setiap muncul juru dakwah yang kondang dan kharismatik mereka langsung menjadikannya sebagai imam dalam agama. Meskipun juru dakwah tersebut tidak punya ilmu pengetahuan tentang sunnah nabi dan fiqih sedikitpun. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Sesungguhnya Allah tidak mencabut suatu ilmu secara sekaligus setelah dianugrahkan kepadamu. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mencabutnya dari manusia dengan mewafatkan para ulama berserta ilmunya. Maka yang tersisa hanyalah orang-orang jahil. Apabila mereka dimintai fatwa maka mereka memberi fatwa menurut pendapat mereka sendiri. Maka mereka sesat dan menyesatkan" [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Al-I'tisham bil Kitab wa Sunnah 8/282. Hadits ini diriwayatkan juga dengan lafal yang berbeda oleh Imam Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Daud]

Dakwah kepada agama Allah dan amar ma'ruf nahi mungkar hanya pantas dicetuskan oleh para ulama yang mulia lagi paham tentang masalah agama dan menimba ilmunya dari sumber yang asli dengan berlandaskan metode yang benar. Jika demikian, tidak semua orang yang akalnya dipenuhi pengetahuan, wawasan dan pemikiran-pemikiran boleh dijadikan imam dalam agama. Sebab banyak sekali dijumpai orang fasik bahkan orang kafir yang mengetahui banyak persoalan agama Islam, dan banyak pula dijumpai dari kalangan orientalis yang menghafal sejumlah buku-buku induk dalam ilmu fiqih. Bahkan mereka hafal Al-Qur'an, Shahih Bukhari, kitab-kitab Sunan dan lain-lainnya. Orang-orang seperti itu hanyalah hafal ilmu namun tidak memahami agama sama sekali. Begitu pula banyak orang yang mengaku dirinya muslim, dan memiliki sejumlah maklumat, namun tidak memahami metodologi memahami agama, tidak memahami kaidah-kaidah amal, mu'amalah dam iltizam (komitmen) terhadap As-Sunnah. Tidak mengambil dienul Islam dengan metodologi yang benar. Tidak mengambilnya dari ulama rabbani, sehingga mereka berfatwa tanpa ilmu, mengarahkan dan mengumpulkan orang tanpa dasar ilmu dan aqidah yang benar.

[2]. Salah satu fenomena kerancuan dalam metodologi memahami agama yang merupakan sebab perpecahan umat ialah memisahkan diri dari para ulama. Yaitu sebagian penuntut ilmu, juru dakwah dan pemuda memisahkan diri dari ulama. Mereka merasa cukup menimba ilmu agama melalui buku, kaset, majalah dan media-media lainnya. Mereka enggan menuntut ilmu dari para ulama. Hal ini jelas merupakan gejala yang berbahaya bahkan merupakan benih perpecahan umat.

Jika kita kembali melihat sejarah awal perpecahan umat Islam, seperti menyempalnya kelompok Khawarij dan Rafidhah, niscaya kita dapati bahwa diantara faktor utama terjadinya bencana perpecahan di kalangan orang-orang yang mengaku Islam -selain orang-orang munafik dan zindiq- adalah memisahkan diri dari sahabat. Melecehkan sahabat dan menolak mengambil ilmu dari sahabat.

Orang-orang itu lebih memilih menimba ilmu secara otodidak atau dari rekannya. Mereka berkata : "Kami sudah menguasai Al-Qur'an, kami sudah memahami As-Sunnah, kami tidak butuh bimbingan orang lain, maksud mereka, tidak butuh bimbingan para sahabat dan ulama dari kalangan tabi'in. Dari situlah mereka menyempal dan keluar dari metodologi memahami agama yang benar. Menyimpang dari jalan orang-orang yang beriman (para sahabat), jalan (metode) yang diambil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan metode yang diambil para tabi'in dari para sahabat, kemudian diambil oleh generasi salaf dari para imam-imam terpercaya generasi demi generasi.

Dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Ilmu ini akan diambil oleh para imam yang adil dari setiap generasi" [Hadits Riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi dalam buku Syaraf Ashhabul Hadits hal. 28-29, Ibnu Adi dalam buku Al-Kamil I/152-153 dan III/902 dan dinyatakan hasan oleh beliau. Dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam buku Bughyatul Multamis hal. 34-35]

Para imam yang adil adalah para penghafal hadits yang tsiqah (kuat hafalannya), yaitu yang mengambil ajaran agama ini dari para ulama lalu mereka menyampaikannya kepada orang lain.

Memisahkan diri dari ulama merupakan bahaya yang sangat besar. Sebab ilmu hanya akan membuahkan berkah bila diambil secara benar dari alim ulama. Dan eksistensi ulama tidak akan pernah terputus sampai akhir zaman.

Propaganda segelintir orang bahwa ulama juga punya kekurangan dan kekeliruan adalah propaganda yang menyesatkan. Memang benar, ulama juga manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan dan kekeliruan, namun jangan lupa, secara umum mereka merupakan teladan dan panutan. Mereka adalah hujjah, melalui merekalah Allah Subhanahu wa Ta'ala menyalurkan agama ini. Merekalah ahli dzikir dan rasikhun. Merekalah para imam yang mendapat petunjuk dan siapa saja yang menyimpang dari jalan mereka pasti binasa. Merekalah jama'ah, siapa saja yang keluar darinya pasti sesat. Menimba ilmu dari selain ahlinya (ulama) merupakan tindakan yang sangat berbahaya, baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.

[3]. Di antara gejala salah kaprah dalam memahami agama adalah pelecehan ulama yang dilakukan oleh sebagian orang yang sok tahu dan sejumlah oknum juru dakwah. Sangat disayangkan, gejala tidak sehat ini kita lihat mulai merebak. Tentu saja ini sangat mengkhawatirkan. Kita wajib saling menasihati guna mencegahnya. Sebab setiap perkara yang tidak segera ditanggulangi para penuntut ilmu dan alim ulama bisa menjadi bahaya besar.

[4]. Sebagian pemuda yang berguru kepada sesama mereka, atau kepada pelajar-pelajar yang tidak lebih pandai daripada mereka. Yaitu belajar secara penuh serta meninggalkan ulama-ulama besar dan memutuskan hubungan dengan mereka. Bukan maksudnya tidak boleh belajar dari para penuntut ilmu, bahkan siapa saja yang menguasai salah satu disiplin ilmu syari'at, di samping itu ia juga seorang yang shalih, tentu boleh saja menimba ilmu darinya. Namun juga bukan berarti meninggalkan orang yang lebih alim daripadanya. Atau merasa cukup dengan penuntut ilmu itu serta memutuskan hubungan dengan para ulama besar. Sebab bisa jadi hal itu menjadi salah satu faktor munculnya perpecahan. Yaitu bilamana para pemuda tersebut sudah merasa cukup mengambil ilmu, teladan, panutan, etika dan petunjuk dari sebagian penuntut ilmu serta meninggalkan para ulama yang lebih alim, lebih terhormat dan lebih senior.

Sudah barang tentu hal ini sangat berbahaya. Dan lebih bahaya lagi bila sebagian pemuda tersebut dianggap syaikh dalam hal ilmu oleh sebagian yang lain.

Namun hal itu jangan disalah tafsirkan sebagai larangan menyelenggarakan majelis ilmu (selain majles ulama), bergaul dan bekerja sama dalam dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar. Bahkan majelis-majelis dan kerja sama dalam hal itu sangat dianjurkan. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah menimba ilmu dengan metode yang keliru, yaitu menolak mengambil ilmu dari para ulama. Sikap seperti itu merupakan ciri ahli bid'ah dan ahwa', sikap yang sangat berbahaya dan merupakan faktor utama meletusnya perpecahan. Sebab metode seperti itu akan membatasi pengambilan ilmu dari orang-orang tertentu saja. Hal itu bisa menggiring kepada hizbiyyah (bergolong-golongan) dan ashabiyah (fanatik golongan). Apalagi karakter ulama tidak tampak pada diri pemuda-pemuda itu. Dari sinilah bibit perepecahan akan tumbuh.

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu asbabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]

Wali Allah...Siapakah Dia?

Ketika disebut kata wali maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah suatu keanehan, ke-nyleneh-an, dan kedigdayaan. Itulah yang dapat ditangkap dari pemahaman masyarakat terhadap wali ini. Maka bila ada orang yang bertingkah aneh, apalagi kalau sudah dikenal sebagai kyai, mempunyai indera keenam sehingga mengerti semua yang belum terjadi, segera disebut sebagai wali. Lalu siapakah wali Allah yang sebenarnya?
Definisi Wali
Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah(permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (Yunus: 62 – 64)
Dari ayat tersebut, wali adalah orang yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub dalam Al Qur’an dan terucap melalui lisan Rosul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah (terawasi oleh Allah), kontinyu dengan sifat ketaqwaan dan waspada agar tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan wajib dan melakukan hal yang diharomkan (Lihat Muqoddimah Karomatul Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5/8).
Ibnu Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).
Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh juga menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin no.96, bahwa wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Mereka merealisasikan keimanan di hati mereka terhadap semua yang wajib diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih pada anggota badan mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang harom. Mereka mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan kebaikan lahir dengan ketaqwaan, merekalah wali Allah.
Wali Allah Adalah yang Beriman Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithonhlm. 34 mengatakan: “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia menyelisihinya maka termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (Ali Imron: 31)
Hasan Al Bashri berkata: “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”.
Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah ShollAllahu ‘alaihi wa sallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliauShallAllahu ‘alaihi wa sallam maka tidak termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul. Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.
Maka sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at yang dibebankan padanya. Wallahu a’lam.
(Disarikan dari Majalah Al Furqon Ed.1/Th.III dengan sedikit tambahan)
***
Penulis: Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Di Antara Tanda-tanda Kiamat

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Tentang datangnya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui, baik Malaikat, Nabi, maupun Rasul, masalah ini adalah perkara ghaib dan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat: ‘Kapankah terjadinya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]

Juga firman-Nya:

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari Berbangkit. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu wahai (Muhammad), boleh jadi hari Berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]

Juga ketika Malaikat Jibril Alaihissalam mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya:

...فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ؟

“Kabarkanlah kepadaku, kapan terjadi Kiamat?”

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab:

مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.

“Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” [1]

Meskipun waktu terjadinya hari Kiamat tidak ada yang mengetahuinya, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanda-tanda Kiamat tersebut. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada ummatnya tentang tanda-tanda Kiamat. Para ulama membaginya menjadi dua: (pertama) tanda-tanda kecil dan (kedua) tanda-tanda besar.

Tanda-tanda kecil sangat banyak dan sudah terjadi sejak zaman dahulu dan akan terus terjadi di antaranya adalah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, munculnya banyak fitnah, munculnya fitnah dari arah timur (Iraq), timbulnya firqah Khawarij, munculnya orang yang mengaku sebagai Nabi, hilangnya amanah, diangkatnya ilmu dan merajalelanya kebodohan, banyaknya perzinaan, banyaknya orang yang bermain musik[2] , banyak orang yang minum khamr (minuman keras) dan merebaknya perjudian, masjid-masjid dihias, banyak bangunan yang tinggi, budak melahirkan tuannya, banyaknya pembunuhan, banyaknya kesyirikan, banyaknya orang yang memutuskan silaturrahim, banyaknya orang yang bakhil, wafatnya para ulama dan orang-orang shalih, banyaknya orang yang belajar kepada Ahlul Bid’ah, banyaknya wanita yang berpakaian tetapi telanjang[3], dan lain-lainnya. [4]

Banyak sekali dalil tentang hal ini, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اُعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتِيْ، ثُمَّ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ مُوْتَانٌ يَأْخُذُ فِيْكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ، ثُمَّ اسْتِفَاضَةُ الْمَالِ حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ مِائَةَ دِيْنَارٍ فَيَظَلُّ سَاخِطًا، ثُمَّ فِتْنَةٌ لاَ يَبْقَى بَيْتٌ مِنَ الْعَرَبِ إِلاَّ دَخَلَتْهُ، ثُمَّ هُدْنَةٌ تَكُوْنُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي اْلأَصْفَرِ، فَيَغْدِرُوْنَ فَيَأْتُوْنَكُمْ تَحْتَ ثَمَانِيْنَ غَايَةً، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اِثْنَا عَشَرَ أَلْفًا.

“Perhatikanlah enam tanda-tanda hari Kiamat: (1) wafatku, (2) penaklukan Baitul Maqdis, (3) wabah kematian (penyakit yang menyerang hewan sehingga mati mendadak) yang menyerang kalian bagaikan wabah penyakit qu’ash yang menyerang kambing, (4) melimpahnya harta hingga seseorang yang diberikan kepadanya 100 dinar, ia tidak rela menerimanya, (5) timbulnya fitnah yang tidak meninggalkan satu rumah orang Arab pun melainkan pasti memasukinya, dan (6) terjadinya perdamaian antara kalian dengan bani Asfar (bangsa Romawi), namun mereka melanggarnya dan mendatangi kalian dengan 80 kelompok besar pasukan. Setiap kelompok itu terdiri dari 12 ribu orang.” [5]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ، وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا.

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah : diangkatnya ilmu, tersebarnya kebodohan, diminumnya khamr, dan merajalelanya perzinaan.” [6]

Kemudian munculnya tanda-tanda yang kedua, yaitu tanda-tanda Kiamat yang besar sebagai tanda telah dekatnya hari Kiamat. Penulis khususkan pembahasan tentang sebagian tanda-tanda Kiamat yang besar, karena ada sebagian orang (golongan) yang menolak tentang tanda-tanda besar tersebut berdasarkan akal, ra’yu dan hawa nafsu. Padahal para ulama Ahlus Sunnah sudah membahas permasalahan ini dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits, dan kitab-kitab ‘aqidah mereka.

Pembahasan mengenai permasalahan ini mengikuti jejak para ulama Ahlus Sunnah dalam kitab-kitab mereka, seperti dalam kitab Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah [7] dan kitab-kitab lainnya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani tentang adanya tanda-tanda Kiamat yang besar (kubra) seperti,[8] keluarnya Imam Mahdi, Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam dari langit, Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari barat, dan yang lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan Malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabb-mu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengu-sahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula).’” [Al-An’aam: 158]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ السَّاعَةَ لاَ تَكُوْنُ حَتَّى تَكُوْنَ عَشْرُ آيَاتٍ: خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ، وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ، وَخَسْفٌ فِي جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ، وَالدُّخَانُ، وَالدَّجَّالُ، ودَابَّةٌ، وَيَأْجُوْجُ وَمَأْجُوْجُ، وَطُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَنَارٌ تَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ عَدَنٍ تَرْحَلُ النَّاسَ، وَنُزُوْلُ عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ 

“Hari Kiamat tidak akan terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda: (1) penenggelaman permukaan bumi di timur, (2) penenggelaman permukaan bumi di barat, (3) penenggelaman permukaan bumi di Jazirah Arab, (4) keluarnya asap, (5) keluarnya Dajjal, (6) keluarnya binatang besar, (7) keluarnya Ya’juj wa Ma’juj, (8) terbitnya matahari dari barat, dan (9) api yang keluar dari dasar bumi ‘Adn yang menggiring manusia, serta (10) turunnya ‘Isa bin Maryam Alaihissalam.” [9]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnotes
[1]. HSR. Muslim (no. 2, 3, 4 dan 8), Abu Dawud (no. 4605, 4697), at-Tirmidzi (no. 2610), Ibnu Majah (no. 63) dan Ahmad (I/52).
[2]. Musik di dalam Islam hukumnya haram, sebagaimana haramnya khamr, zina, perjudian, dan lain-lain.
[3]. Terbukanya aurat termasuk dosa besar.
[4]. Untuk mengetahui lebih lengkap, lihat Asyraathus Saa’ah (hal. 57-235), oleh Dr. Yusuf bin ‘Abdillah al-Wabil.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 3176), dari Sahabat ‘Auf bin Malik z.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 80).
[7]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 499) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[8]. Untuk lebih lengkapnya lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim karya Ibnu Katsir, tahqiq Ahmad Abdusy Syaafi’, cet. Daarul Kutub al-Ilmiyah 1411 H, Asyraathus Saa’ah oleh Dr. Yusuf al-Wabil, cet. Maktabah Ibnul Jauzi, Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissalam wa Qatlihi Iyyaahu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah Islamiyyah dan Fashlul Maqaal fii Raf’i ‘Isa Hayyan wa Nuzuulihi wa Qatlihid Dajjaal oleh Dr. Muhammad Khalil Hirras, cet. Maktabah As-Sunnah.
[9]. HR. Muslim (no. 2901 (40)), Abu Dawud (no. 4311), at-Tirmidzi (no. 2183), Ibnu Majah (no. 4055), Imam Ahmad (IV/6), dari Sahabat Hudzaifah bin Asiid Radhiyallahu 'anhu dan ini lafazh Muslim. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Tahqiiq Musnadil Imaam Ahmad (no. 16087).

Friday, November 26, 2010

Adab-adab Seorang Penuntut Ilmu Pada Ulama

Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak menghormati para Ulama
1.    Menghina ulama akan menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan ulama terdahulu, demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka siapa yang menyebut mereka dengan selain kebaikan maka dia berada di atas kesesatan”
Berkata Al-Imam Ibnul Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan ulama, akan hilang akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang dunianya. Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang kehormatannya”
Dan mencela ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.
2.    Orang yang menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang kepada Allah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari  -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu ‘anhu- :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ   – …رواه البخاري
Dari Abu Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya… [HR. Al Bukhari]
Dan para ulama, mereka adalah termasuk wali-wali Allah.
3.    Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya untuk terkena do’a dari seorang alim yang terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah seorang Shahabat yang bermana Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiyallohu ‘anhu- dan beliau termasuk salah seorang dari 10 Shahabat yang dijamin dengan Surga. [Baca Di Sini]
4.    Orang yang mencibir para ulama maka ia akan dijerumuskan kepada apa yang ia tuduhkan kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i –rahimahullah- “Aku mendapati dalam jiwaku keinginan untuk membicarakan aib seseorang; akan tetapi yang mencegahku dari membicarakannya adalah aku khawatir jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”
5.    Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia akan diberikan su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal ini dikarenakan dia suka mencibir Al-Imam An-Nawawi
6.    Daging para ulama itu beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan mati.”
7.    Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk terhalangi dari dapat mengambil faidah dari ilmu para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya gelap, kecuali majelis-majelisnya para ulama.”
8.    Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari medan dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari kalangan harokah (orang-orang pergerakan), mereka memisahkan antara ulama dengan da’i. Mereka menyangka –dengan persangkaan mereka yang bathil- bahwa ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan menyampaikan ilmu, akan tetapi mereka tidak memahami realita (fiqhul waqi’). Sedangkan yang memahami waqi’ adalah para da’i yang terjun langsung ke medan dakwah. Sehingga para ulama itu tidak bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang dijadikan rujukan adalah orang-orang yang mereka anggap sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah- menjelaskan beberapa sebab yang menyebabkan manusia tidak menghormati para ulama. Diantaranya:
1.    Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada kitab tanpa mau duduk di majlis para ulama
Diantara dampak buruk dari otodidak adalah :
  • Orang ini akan mengukur dengan keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan mudahnya dia memandang dirinya sebagai orang alim
  • Orang ini akan kehilangan suri tauladan dalam adab dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang orang yang belajar secara otodidak untuk berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata : “Siapa yang bertafaqquh dari perut-perut kitab, maka ia akan menyia-nyiakan hukum.” Kemudian beliau bersya’ir :
Siapa yang mengambil ilmu langsung dari guru, maka dia akan terhindar dari kesesatan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku, maka ilmunya di sisi para ulama seperti tidak ada
2.    Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum menghasilkan batasan paling rendah dari ilmu dengan alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang memposisikan dirinya sebagai da’i /Ustadz dan dia mengajar ke sana dan ke sini akan tetapi dia tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –radhiyallohu ‘anhu- : Bertafaqquhlah kalian sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –rahimahullah- berkata : Orang yang masih rendah ilmunya dan memposisikan dirinya sebagai ulama maka ia akan terluput dari kebaikan yang sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari orang-orang yang rendah ilmunya akan menjadikan orang-orang awam menyangka bahwa orang itu adalah ulama. Sehingga memalingkan mereka dari ulama yang sesungguhnya.
3.    Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa pintar, maka engkau akan dapati mereka adalah orang-orang yang dangkal ilmunya akan tetapi memposisikan diri mereka seperti ulama, maka mereka itu akan ditimpa oleh penyakit ujub (bangga kepada dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi Sufyan –radhiyallohu ‘anhuma- : Orang yang paling tertipu adalah orang para qari’ (pembaca al-qur’an) akan tetapi ia tidak faham apa yang terkandung di dalamnya. Kemudian dia mengajar anak-anak dan wanita , yang dengan itu dia merasa besar kemudian berani mendebat para ulama.
4.    Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat. Sehingga menganggap setiap orang boleh berbicara tentang agama menurut akal mereka walaupun tanpa ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita lihat dan saksikan pada zaman kita ini. Di mana orang yang paling awam tentang agama berbicara dengan sebebas-bebasnya tentang agama ini, mengatakan seenaknya tentang kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang tahun-tahun yang menipu dan munculnya para ruwaibidhah:
5.    Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak boleh menisbatkan diri kepada seorang syaikh atau sebuah kelompok dan memberikan loyalitas di atasnya.
6.    Tidak adanya ketelitian dalam menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama
Kemudian dibagian akhir beliau menyebutkan beberapa adab yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu terhadap para ulama. Diantaranya :
1.    Ketahuilah bahwa ulama itu seperti bintang, dan salah satu fungsi bintang adalah sebagai penunjuk jalan.
Kita menjadikan ulama sebagai penunjuk jalan kita kepada kebenaran dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika kebenaran telah jelas dihadapan kita maka tidak boleh kita berpaling dari kebenaran itu dengan beralasan pada perkataan siapapun. Karena perkataan ulama yang menyelisihi dalil maka perkataan tersebut tertolak dan tidak dianggap. Meskipun demikian kita tetap menghormati mereka sebagai ulama dan memaklumi kekeliruan mereka.
Dikatakan, bahwa wafatnya para ulama adalah sebuah lubang yang tidak dapat ditambal, ibarat sebuah bintang yang jatuh.
2.    Ulama adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, terkadang benar dan terkadang salah.
Ini adalah madzhab ahlussunnah wal jama’ah, tidak seperti orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa para imam mereka adalah ma’shum.
3.    Menghargai pendapat mereka, dengan tidak mengambil pendapat mereka yang salah atau keliru dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka. Karena kesalahan mereka jika dibandingkan dengan kebaikan yang telah mereka perbuat maka kesalahan itu tidak ada apa-apanya.
4.    Menjaga kehormatan ulama, dengan tidak menyebutkan tentang mereka kecuali dengan kebaikan dan berusaha menutupi aib mereka.
Beberapa faidah dari soal-jawab
1.    Solusi belajar bagi orang yang “kurang cerdas”, jika yang dimaksud adalah
  • Kurang faham atau kurang dapat memahami, maka solusinya adalah dengan bertanya kepada guru atau ustadz.
  • Lemah dalam hafalan, maka berusahalah semampunya untuk menghafal. Jika telah mencapai batas maksimal kemampuannya dan tidak dapat lebih dari itu, maka sesungguhnya Allah tidak membebani kecuali sekadar kemampuan hamba.
2.    Menyikapi perbedaan/perselisihan yang terjadi diantara ulama yang hidup dizaman ini.
Berkata Imam Adz-Dzahabi : “Perselisihan para ulama yang sezaman hendaknya dilipat dan tidak digubris”
Bagi para penuntut ilmu hendaknya mereka menyibukkan diri dengan belajar dan memperkokoh keilmuan mereka. Jangan tersibukkan dengan perselisihan-perselisihan yang sifatnya ijtihadi dan perkara-perkara fitnah.
3.    Cara paling jitu dalam menyikapi media yang menyesatkan, baik media cetak maupun elektronik adalah dengan mengabaikannya, tidak membelinya dan tidak membacanya. Kemudian menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat.
4.    Tentang fanatik kepada “Salaf” maka perlu dirinci
  • Jika yang dimaksud dengan salaf adalah Nabi –shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya –radhiyallohu ‘anhum-, maka fanatik kepada mereka adalah wajib. Karena kebenaran ada pada mereka.
  • Jika yang dimaksud adalah orang yang menisbatkan kepada salaf/salafiy maka ini tidak boleh, karena orang ini bisa jadi benar dan bisa jadi salah.
5.    Cara berguru bagi penuntut ilmu
  • Jika ia termasuk penuntut ilmu pemula, maka hendaknya ia mengambil ilmu dari satu guru agar tidak dibingungkan dengan berbagai pendapat-pendapat
  • Jika ia termasuk orang yang mulai baik keilmuannya maka hendaknya ia belajar dari beberapa guru agar keilmuannya semakin luas dan pandangannya semakin terbuka. Karena orang yang hanya berguru kepada seorang guru saja tanpa yang lainnya, maka kemungkinan dia untuk jatuh kedalam fanatisme akan lebih besar.
6.    Termasuk akhlaq yang tercela adalah apabila ada seorang penuntut ilmu yang meng-ghibah gurunya karena kesalahan dari gurunya yang diketahui olehnya.
7.    Seorang disebut sebagai ulama apabila:
  • Menguasai Al-Qur’an
  • Memahami hadits, ilmu-ilmunya dan tatacara istinbath
  • Memahami cara mentarjih
  • Disamping itu ia juga harus menguasai ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu alat lainnya.
Akan tetapi tidak disyaratkan bagi seorang ulama itu harus menghafal alqur’an seluruhnya
8.    Menghilangkan sifat malu yang tidak pada tempatnya, yakni malu dalam menuntut ilmu adalah dengan memperhatikan ucapan salaf, “Tidak akan dapat menuntut ilmu, orang yang pemalu (yang berlebihan malunya) dan orang yang sombong”
Kemudian untuk dapat merasakan manisnya ilmu dan menuntut ilmu adalah dengan mengikhlaskan niat dan dengan menjauhi maksiat.
9.    Rincian mencela ulama yang sesat
  • Ulama sesat tersebut sudah meningal dunia, maka cukup dengan menyebutkan kesesatan-kesesatannya tanpa mencela orangnya. Karena ia akan mendapatkan balasan atas apa yang diperbuatnya di dunia.
  • Ulama sesat tersebut masih hidup. Maka harus ditimbang manfaat dan mafsadatnya, mana yang lebih baik, mencelanya atau mendiamkannya. Tapi yang wajib adalah memperingatkan orang dari kesesatan-kesesatannya agar mereka berhati-hati terhadap orang yang memiliki kesesatan tersebut.
10.    Termasuk adab adalah mengangkat tangan untuk meminta izin keluar dari majelis untuk suatu keperluan.
11.    Syarat meraih kepemimpinan adalah dengan Ilmu yang mendalam dan kesabaran
12.    Pernyataan sebagian orang agar hendaknya kita juga melihat kepada pendapat ulama lain, maka harus dirinci
  • Jika yang dimaksud adalah ulama ahlussunnah yang lain, seperti melihat pendapat-pendapat imam-imam madzhab yang empat, maka ini adalah bagus. Karena hal ini dapat memperkokoh ilmu.
  • Jika yang dimaksud adalah ulama yang menyimpang dari kalangan pengikut hawa nafsu, maka ini sama sekali tidak perlu. Karena ulama ahlussunnah telah mencukupi.

Wednesday, November 24, 2010

قسوة القلوب .. أسبابها وعلاجها

أخي وأختي في الله...

أحييكم بتحية أهل الجنة...

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته أما بعد..

فإن من الابتلاءات التي بليت بها هذه الأمة ابتلاء عظيم ومرض عضال وداء فظيع ومصيبة كبرى ألا وهو:

قســـوة القلـــوب

ففي هذه الرسالة نصيحة أرجو من الله الجواد الكريم أن ينفعنا بها جميعا وأن يجعلها خالصة لوجهه الكريم.

وفي بداية هذه الرسالة نتعرف جميعا على أسباب قسوة القلوب وكيفية علاجها.

الأسباب

الغفلة، وطول الأمل، وعدم مراقبة الله واستشعار عظمته، وقوته، وجبروته، وانتقامه، ورحمته، ولطفه وفضله، وجوده، وكرمه.

ومن أسباب قسوة القلوب :
- عدم المحافظة على الصلاة مع الجماعة وعدم الإتيان إليها مبكرا.
- هجر القرآن وعدم قراءته بحضور قلب وخشوع وتدبر.
- الكسب الحرام من الربا والغش في البيع والشراء والرشوة ونحو ذلك.
- الكبر والانتقام للنفس واحتقار الناس والاستهزاء بهم.
- الظلم.
- الركون للدنيا والاغترار بها ونسيان الموت والقبر والدار الآخرة.
- النظر المحرم إلى النساء أوالمردان.
- عدم محاسبة النفس وطول الأمل.
- كثرة الكلام بغير ذكر الله عز وجل، كثرة الضحك والمزاح، كثرة الأكل، كثرة النوم.

ومن أسباب قسوة القلوب :
- الغضب بلا سبب شرعي.
- السفر إلى بلاد الكفر للسياحة.
- الكذب والغيبة والنميمة.
- الجليس السوء.
- الحقد والحسد والبغضاء.

ومن أسباب قسوة القلوب :
- إضاعة الوقت بغير فائدة وعدم استغلاله في المفيد.
- الإعراض عن تعلم العلم الشرعي.
- إتيان الكهان والسحرة والمشعوذين.
- استعمال المخدرات والمسكرات والدخان والشيشة (النارجيلة) والمعسل.
- عدم قراءة أذكار الصباح وأذكار المساء.
- سماع الأغاني ومشاهدة الأفلام الخليعة والمجلات الهابطة.
- عدم الاهتمام بأمر الدعاء.

أخي المسلم.. أختي المسلمة..

تعرفنا آنفا على أسباب قسوة القلوب ـ أعاذنا الله منها ـ إذن لنبحث عن العلاج الذي نعالج به جميعا قلوبنا؛ لأن معرفة الداء أول طرق معرفة الدواء.. فلنتابع السير :

علاج قسوة القلوب

- تعلم العلم الشرعي من القرآن والسنة.
- المواظبة على قراءة القرآن الكريم بتدبر وخشوع وحضور قلب مع قراءة تفسير القرآن.
- قراءة سيرة الرسول وأصحابه.
- الصدقة (الحرص على صدقة السر).
- العطف على الفقراء والمساكين والأرامل والمسح على رأس اليتيم.
- الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.
- بر الوالدين والإحسان إليهما.
- صلة الأرحام.
- زيارة المرضى وتخفيف آلامهم ومواساتهم.
- زيارة مغاسل الموتى (حضور تغسيل الأموات إذا تيسر ذلك).
- زيارة المقابر (للرجال فقط).
- الإكثار من ذكر الله تعالى.
- قيام الليل والحرص على ذلك.
- التواضع وحسن الخلق.
- التبكير للصلاة في المسجد.
- إفشاء السلام على من عرفت ومن لم تعرف.
- محاسبة النفس.
- صفاء النفوس.
- أداء النوافل.
- الجليس الصالح (مجالس الصالحين).
- الحرص على التزود من الدنيا بالعمل الصالح.
- الزهد في الدنيا، والإعراض عنها، وأخذ الكفاية من متاعها.
- تذكر يوم القدوم والعرض على الله يوم القيامة للحساب.
- حب الخير للغير.
- عدم الانتقام للنفس، والعفوعن من ظلمك.
- دعوة غير المسلمين إلى الإسلام (مكاتب الجاليات).
- حفظ الجوارح مما يغضب الله.
- الكسب الحلال.
- سقي الماء.
- الإسهام قدر المستطاع في بناء المساجد.
- زيارة البيت الحرام لأداء العمرة مع الاستطاعة.
- الهدية « تهادوا تحابوا »
- الدعاء لإخوانك المسلمين بظهر الغيب.
- الرفق بالحيوان والإحسان إليه.
- المكث بالمسجد بعد الصلوات (وخصوصا بعد صلاة الفجر حتى طلوع الشمس قدر رمح ثم صلاة ركعتين).
- زيارة المؤسسات الخيرية والاطلاع على أحوال المسلمين في العالم.
- تجهيز غاز في سبيل الله.
- إنظار المعسر أوالتجاوز عن شيء من دينه.
- صيام التطوع.
- إصلاح ذات البين.
- تذكر الجنة ونعيمها وقصورها وأنهارها وزوجاتها وغلمانها والحياة الأبدية التي لا موت فيها ولا تعب ولا نصب وأعظم من ذلك رؤية الله رب العالمين.
- تذكر النار وجحيمها وسعيرها وأغلالها وزقومها وأوديتها وعقاربها وحياتها وطول المكث فيها، ونعوذ بالله ونستجير بالله من عذاب جهنم { إن عذابها كان غراما، إنها ساءت مستقرا ومقاما } [ الفرقان : 65 - 66 ]
- التحدث بنعم الله سبحانه وتعالى.
- مراقبة الله في السر والعلن.
- تذكر الموت وسكراته.
- تذكر القبر ووحشته وظلمته وسؤال الملكين.
- الدعاء والإلحاح على الله سبحانه وتعالى { وقال ربكم ادعوني أستجب لكم } [غافر:60].

الحذر... الحذر من الاستمرار والتهاون بالذنوب

عن سهل بن سعد الساعدي قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : « إياكم ‏ ‏ومحقرات ‏‏ الذنوب كقوم نزلوا في بطن واد فجاء ذا بعود وجاء ذا بعود حتى أنضجوا خبزتهم وإن ‏‏ محقرات ‏‏ الذنوب متى يؤخذ بها صاحبها تهلكه » رواه أحمد، والطبراني، والبيهقي في شعب الإيمان، وغيرهم، والحديث صحيح.

اعلم أخي المسلم.. أختي المسلمة..

أن الاستمرار على الذنوب والتهاون بها سبب رئيس في قسوة القلوب، ولربما لا يوفق العبد بحسن الخاتمة، والعمر فرصة واحدة ولن يتكرر واستفد من وجودك في هذه الحياة بعمل الصالحات والتزود منها، والتخلص من الذنوب والمعاصي، ولا تطل الأمل فقد يفاجئك الموت هذه الليلة على فراشك، فعلينا بالتوبة والرجوع إلى الله قبل فوات الأوان وقبل حضور الأجل.

قال تعالى: { وليست التوبة للذين يعملون السيئات حتى إذا حضر أحدهم الموت قال إنّي تبت الآن } [ النساء : 18 ].

لله أشد فرحا بتوبة عبده

عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : « ‏لله أشد فرحا بتوبة عبده حين يتوب إليه من أحدكم كان على ‏ ‏راحلته ‏ ‏بأرض فلاة ‏ ‏فانفلتت ‏ ‏منه وعليها طعامه وشرابه فأيس منها فأتى شجرة فاضطجع في ظلها قد أيس من ‏ ‏راحلته ‏ ‏فبينا هوكذلك إذا هو بها قائمة عنده فأخذ ‏ ‏بخطامها ‏ ‏ثم قال من شدة الفرح : اللهم أنت عبدي وأنا ربك ، أخطأ من شدة الفرح » [رواه مسلم]
قال تعالى : { قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعا إنه هوالغفور الرحيم } [ الزمر : 53 ].

وفقنا الله للصالحات والتوبة النصوح قبل الممات ورزقنا خشيته في السر والعلن، ونعوذ بالله من قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن عين لا تدمع، ومن دعوة لا ترفع، نعوذ بالله من هؤلاء الأربع وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين.


تعليقات القراء :    أضف تعليقك الآن
ملاحظة هامة : هذه التعليقات لا تعبر بالضرورة عن وجهة نظر الموقع وهي وجهات نظر أصحابها

تعليق [جزاك الله عنا وعن الاسلام كل الخير
ام احمد - مصر
أعجبني:
والله انى احبك فىالله

Sunday, November 21, 2010

النَّسْخ

تعريفه:
النسخ لغة: الإزالة والنقل.
واصطلاحاً: رفع حكم دليل شرعي أو لفظه بدليل من الكتاب والسنة.
فالمراد بقولنا: "رفع حكم" ؛ أي: تغييره من إيجاب إلى إباحة، أو من إباحة إلى تحريم مثلاً.
فخرج بذلك تخلف الحكم لفوات شرط أو وجود مانع، مثل أن يرتفع وجوب الزكاة لنقص النصاب، أو وجوب الصلاة لوجود الحيض؛ فلا يسمى ذلك نسخاً.
والمراد بقولنا: "أو لفظه" ، لفظ الدليل الشرعي؛ لأن النسخ إما أن يكون للحكم دون اللفظ أو بالعكس أو لهما جميعاً؛ كما سيأتي.
وخرج بقولنا: "بدليل من الكتاب والسنة" ؛ ما عداهما من الأدلة كالإجماع والقياس فلا ينسخ بهما.
والنسخ جائز عقلاً وواقع شرعاً.
أما جوازه عقلاً: فلأن الله بيده الأمر، وله الحكم؛ لأنه الرب المالك، فله أن يشرع لعباده ما تقتضيه حكمته ورحمته، وهل يمنع العقل أن يأمر المالك مملوكه بما أراد؟ ثم إن مقتضىحكمة الله ورحمته بعباده أن يشرع لهم ما يعلم تعالى أن فيه قيام مصالح دينهم ودنياهم، والمصالح تختلف بحسب الأحوال والأزمان، فقد يكون الحكم في وقت أو حال أصلح للعباد، ويكون غيره في وقت أو حال أخرى أصلح، والله عليم حكيم.

وأما وقوعه شرعاً فلأدلة منها:
1 - قوله تعالى: {مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا}[البقرة: من الآية106]
2 - قوله تعالى: {الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُم}[لأنفال: من الآية66] {فَالْآنَ بَاشِرُوهُنّ}[البقرة: من الآية187] فإن هذا نص في تغيير الحكم السابق.
3 - قوله صلّى الله عليه وسلّم: "كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها"1 فهذا نص في نسخ النهي عن زيارة القبور
.

ما يمتنع نسخه
يمتنع النسخ فيما يأتي:
1 - الأخبار، لأن النسخ محله الحكم، ولأن نسخ أحد الخبرين يستلزم أن يكون أحدهما كذباً، والكذب مستحيل في أخبار الله ورسوله، اللهم إلا أن يكون الحكم أتى بصورة الخبر، فلا يمتنع نسخه كقوله تعالى: {إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ} [لأنفال: من الآية65] الآية، فإن هذا خبر معناه الأمر، ولذا جاءنسخه في الآية التي بعدها، وهي قوله تعالى: {الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ}. [ لأنفال: من الآية 66].
2 - الأحكام التي تكون مصلحة في كل زمان ومكان: كالتوحيد، وأصول الإيمان وأصول العبادات ومكارم الأخلاق من الصدق والعفاف، والكرم والشجاعة، ونحو ذلك؛ فلا يمكن نسخ الأمر بها، وكذلك لا يمكن نسخ النهي عما هو قبيح في كل زمان ومكان كالشرك والكفر ومساويء الأخلاق من الكذب والفجور والبخل والجبن ونحو ذلك، إذ الشرائع كلها لمصالح العباد ودفع المفاسد عنهم
.

شروط النسخ
يشترط للنسخ فيما يمكن نسخه شروط منها:
1 - تعذر الجمع بين الدليلين، فإن أمكن الجمع فلا نسخ لإمكان العمل بكل منهما.
2 - العلم بتأخر الناسخ ويعلم ذلك إما بالنص أو بخبر الصحابي أو بالتاريخ.
مثال ما علم تأخره بالنص: قوله صلّى الله عليه وسلّم: "كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء، وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة" .
ومثال ما علم بخبر الصحابي: قول عائشة رضي الله عنها: كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن، ثمنسخن بخمس معلومات"" .
ومثال ما علم بالتاريخ: قوله تعالى: {الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ} الآية؛ فقوله: "الآن" يدل على تأخر هذا الحكم. وكذا لو ذكر أن النبي صلّى الله عليه وسلّم حكم بشيء قبل الهجرة، ثم حكم بعدها بما يخالفه، فالثاني ناسخ.
3 - ثبوت الناسخ، واشترط الجمهور أن يكون أقوى من المنسوخ أو مماثلاً له؛ فلا ينسخ المتواتر عندهم بالآحاد، وإن كان ثابتاً، والأرجح أنه لا يشترط أن يكون الناسخ أقوى أو مماثلاً؛ لأن محل النسخ الحكم، ولا يشترط في ثبوته التواتر.

أقسام النسخ
ينقسم النسخ باعتبار النص المنسوخ إلى ثلاثة أقسام:
الأول: ما نسخ حكمه وبقي لفظه، وهذا هو الكثير في القرآن.
مثاله: آيتا المصابرة، وهما قوله تعالى: {إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ} [لأنفال: من الآية65]، نسخ حكمها بقوله تعالى: {الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ} [لأنفال:66]
وحكمة نسخ الحكم دون اللفظ، بقاء ثواب التلاوة، وتذكير الأمة بحكمة النسخ.
الثاني: ما نسخ لفظه وبقي حكمه كآية الرجم، فقد ثبت في"الصحيحين" من حديث ابن عباس رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: كان فيما أنزل الله آية الرجم، فقرأناها وعقلناها ووعيناها ورجم رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ورجمنا بعده، فأخشى إن طال بالناس زمان أن يقول قائل: والله ما نجد الرجم في كتاب الله، فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله، وإن الرجم في كتاب الله حق على من زنى، إذا أحصن من الرجال والنساء، وقامت البينة، أو كان الحبل، أو الاعتراف.
وحكمة نسخ اللفظ دون الحكم اختبار الأمة في العمل بما لا يجدون لفظه في القرآن، وتحقيق إيمانهم بما أنزل الله تعالى، عكس حال اليهود الذين حاولوا كتم نص الرجم في التوراة.
الثالث: ما نسخ حكمه ولفظه: كنسخ عشر الرضعات السابق في حديث عائشة رضي الله عنها.
وينقسم النسخ باعتبار الناسخ إلى أربعة أقسام:
الأول: نسخ القرآن بالقرآن؛ ومثاله آيتا المصابرة.
الثاني: نسخ القرآن بالسنّة؛ ولم أجد له مثالاً سليماً.
الثالث: نسخ السنة بالقرآن: ومثاله نسخ استقبال بيت المقدس الثابت بالسنة، باستقبال الكعبة الثابت بقوله تعالى: {فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَه} [البقرة: 144،144، 149، 150 ].
الرابع: نسخ السنة بالسنة، ومثاله قوله صلّى الله عليه وسلّم: "كنت نهيتكمعن النبيذ في الأوعية، فاشربوا فيما شئتم، ولا تشربوا مسكراً"1 .

حكمة النسخ
للنسخ حِكَمٌ متعددة منها:
1 - مراعاة مصالح العباد بتشريع ما هو أنفع لهم في دينهم ودنياهم.
2 - التطور في التشريع حتى يبلغ الكمال.
3 - اختبار المكلفين باستعدادهم لقبول التحول من حكم إلى آخر ورضاهم بذلك.
4 - اختبار المكلفين بقيامهم بوظيفة الشكر إذا كان النسخ إلى أخف، ووظيفة الصبر إذا كان النسخ إلى أثقل
الكتاب : الأصول من علم الأصول
المؤلف : محمد بن صالح بن محمد العثيمين (المتوفى : 1421هـ)
دار النشر : دار ابن الجوزي


Saturday, November 20, 2010

الاستعاذة: أعوذ باللّه من الشيطان الرجيم

  معناها
أستجير بجناب اللّه وأعتصم به من شر الشيطان الملعون المذموم أن يغويني ويضلني أو يضرني في ديني أو دنياي، أو يصدني عن فعل ما أمرت به أو يحضني على ما نهيت عنه، فإنه لا يكفه ويمنعه إلا رب العالمين. والشيطان:
واحد الشياطين، وسمي بذلك لبعده عن الحق وتمرده. والرجيم: أي المبعد من الخير، المهان، المرمي باللعن والسب
.
 
 أمر اللّه سبحانه بالاستعاذة
عند أول كل تلاوة للقرآن، بقوله تعالى:
فَإِذا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ [النحل 16/ 98] أي إذا أردت أن تقرأ، فتعوذ، وقوله: ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ، نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ. وَقُلْ: رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزاتِ الشَّياطِينِ، وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ [المؤمنون 23/ 96- 98] وهذا يوحي إلى أن القرآن جعل دفع السيئة بالحسنة علاجا لشيطان الإنس، والاستعاذة علاجا لشيطان الجن.
وتطبيقا لهذا الأمر في السنة
ورد عن أبي سعيد الخدري عن النّبي صلّى اللّه عليه وسلّم «أنه كان إذا قام إلى الصلاة استفتح، ثم يقول: أعوذ باللّه السميع العليم من الشيطان الرجيم من همزة ونفخه ونفثه» «1»

وقال ابن المنذر: «جاء عن النّبي صلّى اللّه عليه وسلّم- فيما رواه ابن مسعود- أنه كان يقول قبل القراءة: أعوذ باللّه من الشيطان الرجيم» .
وهذا اللفظ هو الذي عليه جمهور العلماء في التعوذ: لأنه لفظ كتاب اللّه.



الاستعاذة مندوبة في رأي جمهور العلماء في كل قراءة في غير الصلاة.
أما في الصلاة، فقال المالكية: يكره التعوذ والبسملة قبل الفاتحة والسورة، إلا في قيام رمضان،
لحديث أنس: «أن النّبي صلّى اللّه عليه وسلّم وأبا بكر وعمر كانوا يفتتحون الصلاة بالحمد للّه رب العالمين» «1»

وقال الحنفية: يتعوذ في الركعة الأولى فقط.
ورأي الشافعية والحنابلة: أنه يسن التعوذ سرا في أول كل ركعة قبل القراءة.


أجمع العلماء على أن التعوذ ليس من القرآن، ولا آية منه.

الكتاب : التفسير المنير في العقيدة والشريعة والمنهج
المؤلف : د وهبة بن مصطفى الزحيلي

Friday, November 19, 2010

Your Family Tree



Your closest relatives are your parents: your mother and father; and your siblings (brothers or sisters). If your mother or father is not an only child, you also have aunts and / or uncles. An aunt is the sister of your mother or father, while an uncle is the brother of your mother or father. Your female child is called your daughter, and your male child is your son.
If your aunts or uncles have children, they are your first cousins. (In English, the word cousin is used, whether the cousin is female or male.) Your female cousin is your mother (or father's) niece, while a male cousin is the nephew of your mother and father.

In-laws

When you marry, your husband (or wife's) family become your in-laws. The mother of your spouse (husband or wife) is your mother-in-law and his or her father becomes your father-in-law. The term in-law is also used to describe your relationship with the spouses of your siblings. So the husband of your sister becomes your brother-in-law, while the sister of your husband becomes your sister-in-law. If you are a woman, you become the daughter-in-law of your husband's parents, and if you are a man, you become the son-in-law of your wife's parents. The same term in-law is used for all generations. The husband of your aunt is still your mother's brother-in-law, for example.

Grandparents / grandchildren

The parents of your parents are your grandparents  grandmother and grandfather. You are their grandchildren– either a granddaughter or a grandson. If your grandparent has a sister, she is your great-aunt. If your grandparent has a brother, he is your great-uncle. (And you are either his or her great-niece or great-nephew.)
The mother of your grandmother or grandfather is your great-grandmother. The father is your great-grandfather. If you go back another generation, the grandmother of your grandmother / grandfather is your great-great-grandmother. The grandfather of your grandparent becomes your great-great-grandfather.

Second families

If your mother or father remarries, you can acquire a new family and set of relatives. For example, if your father marries a second wife, she becomes your step-mother. Any children she already has become your step-sisters or step-brothers.
If your mother or father remarries and has children, they become your half-brothers or half-sisters.
You might also hear people talking about their biological brother / sister etc, to mean a brother who is related by blood, rather than by marriage.


Source Link 

إعراب القرآن - أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

اللغة:
(أعوذ) : أعتصم وأمتنع (الشيطان) : إمّا أن يكون على وزن فعلان من شاط يشيط بقلب ابن آدم أي مال به وأهلكه، وإمّا أن يكون على وزن فيعال من شطن أي بعد كأنه بعد عن الخير أو بعد غوره في الشّر. (الرجيم) : فعيل بمعنى مفعول والمرجوم في اللّغة:
المطرود الملعون أو فعيل بمعنى فاعل أي يرجم غيره بالإغواء والتضليل وإلقاء النفس في المتالف.

الإعراب:
(أعوذ) فعل مضارع مرفوع وهو فعل معتل أجوف لأن عين الفعل واو والأصل أعوذ على وزن أفعل فاستثقلت الضمة على الواو فنقلت الى العين فصارت أعوذ وهذه علّة ما كان من هذا الباب وفاعله ضمير مستتر فيه وجوبا تقديره: أنا. (بالله) : جار ومجرور متعلقان بأعوذ (من الشيطان) جار ومجرور متعلقان بأعوذ أيضا ومن لابتداء الغاية كما أن إلى لمنتهى الغاية فإذا قلت: لزيد من الحائط إلى الحائط فقد بيّنت به طرفي ماله، وإذا قال الرجل: لزيد عليّ من واحد الى عشرة فجائز أن يكون عليه ثمانية إذا أخرجت الحدّين وجائز أن يكون عليه عشرة إذا ادخلت الحدّين معا، وجائز أن يكون عليه تسعة إذا أدخلت حدّا وأخرجت حدّا. (الرجيم) نعت حقيقي للشيطان وجملة الاستعاذة ابتدائية لا محل لها من الإعراب

الكتاب : إعراب القرآن وبيانه
المؤلف : محيي الدين بن أحمد مصطفى درويش (المتوفى : 1403هـ)
الناشر : دار الإرشاد للشئون الجامعية - حمص - سورية ، (دار اليمامة - دمشق - بيروت) ، ( دار ابن كثير - دمشق - بيروت)
1:7 .

Woman Sleeps With 50 Men From Facebook "I Need Sex" Group

Those with insatiable sexual appetites used to have to go to underground swingers clubs, key parties, or put ads in the newspaper, but then the Internet happened and the super-randy started to hook up 24/7, first via instant messaging programs, then via dating/sex sites and Craigslist. Now, of course, they have Facebook and MySpace Technically, these sites are just for making friends, not for quick hook-ups, and the rules strictly forbid nudity and sexual solicitation, but every now and then, the ultra-horny go a little 'Craigslist personals' on Facebook's ass.

Take Laura Michaels of Bristol, England, who, according to the UK's Sun newspaper, created a Facebook group called "I Need Sex." Within 10 minutes, 35 men had joined the group. After an hour, 100 men had joined. She invited the men to contact her and met up in person with those she liked. In the end, Michaels slept with 50 men in total from the Facebook group, which, for those of you who are slow, is literally half of the group.

"I Need Sex" has since been taken down, but Laura has no regrets. She says that she was satisfying her own desires, despite what other people may think of her. All we can say is "kudos".

Source Link

Thursday, November 18, 2010

Di Antara Buah Manis Keimanan Kepada Qadha dan Qadar

Pertanyaan:
Apakah mungkin, qadha dan qadar bisa membantu bertambahnya iman seorang Muslim?

Jawaban:
Beriman kepada Qadha dan Qadar dapat membantu seorang Muslim di dalam melakukan urusan agama dan dunianya karena didasari keimanan bahwa qudrah (kekuasaan/kemampuan) Allah Taala adalah di atas segala kekuasaan dan bahwa bila Allah menghendaki sesuatu, maka takkan ada sesuatu pun yang dapat menghalangi.

Nah, bila seseorang beriman dengan hal ini, maka ia akan melakukan sebab-sebab (sarana-sarana) yang dapat membuat dirinya sampai kepada tujuannya. 

Sebagai contoh, dari sejarah yang lalu, kita mengetahui bahwa kaum Muslimin telah mengalami banyak kemenangan besar padahal jumlah mereka sedikit dan persenjataan mereka amat sederhana. Itu semua bisa terjadi karena mereka beriman kepada janji Allah Ta'ala (qadha dan qadarnya) dan bahwa segala sesuatu adalah berada di tangan-Nya.


<Kumpulan Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz 1, hal. 54>

Arti 'Kurang Akal' dan 'Kurang Agama'Bagi Kaum Wanita

Pertanyaan: 

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kita sering kali mendengar hadits mulia : “Wanita adalah makhluk kurang akalnya dan agamanya”, sehingga dipergunakan oleh sebagian pria untuk mencemoohkan para wanita. Kami harap anda menjelaskan pengertian hadits ini.

Jawaban:

Hadits Nabi:


مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ" قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟" قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: "فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا. أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟" قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: "فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا"
Arti hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Belum pernah saya melihat wanita kurang akalnya dan agamanya yang lebih mampu mengalahkan laki-laki berakal yang kuat daripada seorang di antara kalian”.
Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa kekurangan akalnya?” Beliau menjawab: “Bukankah persaksian dua orang wanita senilai dengan persaksian seorang lelaki?”.
Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa kekurangan agamanya ?” Beliau menjawab: “Bukankah apabila sedang haidh mereka tidak melaksanakan shalat dan puasa?” (Muttafaq alaih)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kekurangan akalnya dari sisi kelemahan hafalannya, dan bahwa persaksiannya harus diperkuat dengan persaksian wanita lain yang mendukungnya, karena kadang ia lupa sehingga bisa jadi ia menambah atau mengurangi dalam perksaksian, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wednesday, November 17, 2010

Sanca Ini Telah Menelan Seorang Manusia (di Kalimantan)

Ular Sanca Kembang (Python Reticulatus) adalah salah satu ular yang sangat banyak ditemukan di Indonesia. Di pedesaan, ular ini biasa disebut Ular Sawah (di Kalimantan disebut Ula Sawa). Ular Sanca Kembang bisa tumbuh besar seukuran Ular Anaconda; dan lebih ganas. Meski tidak berbisa, lilitan ular ini sangat ekstrim. Dahsyatnya, jika besar kepala Ular Sanca Kembang sudah sebesar tangan ukuran manusia dewasa, berarti rahang ular tersebut sudah mampu menelan tubuh manusia! Fact!

Yang lebih mengerikan lagi, adalah foto-foto ekstrim yang membuktikan bahwa Ular Sanca Kembang bisa memakan manusia. Well, ada yang mengatakan ini terjadi di Kalimantan, ada pula cerita versi lain. Namun, dasarnya, kita layak percaya bahwa ular sebesar ini sudah mampu memakan manusia. Jangankan manusia, babi besar yang gemuk pun bisa ditelan!




PATUT DIKETAHUI: Jika seekor ular perutnya sudah penuh alias kenyang,
ia takkan lari dari ancaman apapun. Ia lebih memilih diam.
Oleh karenanya, jangan heran jika Ular Sanca sebesar ini tidak melawan saat diamankan.

Dan jika perut sudah penuh, hanya kepala yang bisa ia gerakkan.
www.keberatanmuatan.com
Andai saja perut ular tersebut tidak bermuatan sebesar itu,
tentu pria ini takkan berani mendekati

Makhluk apa lagi yang ukuran dan besarnya seperti itu selain manusia.
Lihat hasilnya (isi perutnya) di gambar berikut:

SCARY